Azan berkumandang merdu meneduhkan hatiku tuk menghadap Nya, walau panas tubuh ini terasa, bukan karena ac yang mati ataupun pintu jendela tertutup rapat karena sudah akan terhias ya ronce-ronce bunga putih adalah melati. Wajah yang muram aku memandang entah karena apa. Entah, sebentar aku ambil songkok dan sajadah suci kemudian menuju sujudku. Tangis mulai mendesak diantara bacaan suci dari bibir ini, makin terasa saat aku mengacungkan jariku untuk mengakhiri ritualku. Beranikan ku bertanya kepada bidadari yang murung itu, setelah salam aku ucapkan. "Assalamualaikum, kenapa wajahmu murung wahai kekasihku, ada salahkah diriku kepada mu,engkau yang lembut hingga menjadikan murung dihadapan aku ini?" Tanyaku dengan mesra. "Tidak, tidak apa. Aku hanya tadi yang setelah membersihkan kamar ini, lalu terkena debu di mayaku". "Apakah itu yang sebenarnya yang ada didirumu wahai kekasihku" ungkap ku yang belajar sabar saat mengenal nya. Sembari ikut menata kamar yang sebentar lagi yang akan dijadikan ritual suci itu.
Sekejap diamku teringat ketika sang penghulu mengesahkan hallal ku kepada bidadari ku, aku merasa yakin pasti ada yang janggal kepada dirinya. Bising diskusi para tamu yang masih terlihat di ruang tengah, aku mulai menghampirinya, dengan canda dan banyolan yang sejuk, sedikit meredakan panasnya tubuh ini. Sapaan para tamu resepsi kami membuat makin akrab larut dalam gelap malam sakral saat itu. Hiburan musik mengiringi serta suguhan yang memanjakan lidah lincah untuk asik mendukung bincang itu. 00:00 hingga tak terasa mengingat kan mereka tuk bergegas balik ke rumah masing-masing. Hening tanpa lama, ketika musik mula berhenti.
Harum bunga melati menghantarkan aku tuk menyapa kepada kekasih ku itu. Ternyata ia pun masih terlihat gelisah. Keberanian diriku tuk menanyakan kembali, " hai kekasihku yang lema hati, sudah lama aku menelan pahit, pahit oleh penderitaan. Lalu ada apa dengan kamu". "Tak apa" ujarnya. Ya sudah.
Tiba-tiba dengan lembut serta tangis, bidadari ku pun menceritakan kepada ku. "Aku minta maaf" dengan tersedak oleh tangisnya. "Ada apakah ?, Ceritakan kepadaku, karenamu aku harus siap apa saja melayani mu wahae kekasihku". "Maafkan aku Abi, kenapa aku murung dan terlihat mata ini selalu meneteskan air". Tentangku tuk melerainya, " lalu kenapa dan ada apa? Apakah saya salah?".
"Tidak, ini adalah aku yang tidak jujur kepada mu ya Abi". Sebentar lampu kamarun padam dan berhentilah percakapan yang serius itu. Dengan lahan aku melangkah menuju saklar meteran listrik itu.
Menyala dan terangkat kembali kamar indah penuh bunga-bunga itu. Lanjut tanyaku kepada bidadari yang murung. "Lanjutkan lah ada apa dengan perasaan mu itu, buatlah lega untukku". "Iya, sebenarnya aku sudah mencintai orang pilihan ku, namu apa daya, aku harus patuh wasiat orangtuaku untuk mendampinginya". "Em" dengan hati yang langsung sekejap sesak. Akupun menenangkan hati ini. "Lalu apa permintaan mu kepadaku" dengan terbata bata aku menanyakan itu kepada bidadari murung. "Iya aku paham, kan ku jaga sucimu walau hallalmu bersamaku".
Berlahan aku tinggalkan kamar dengan kemasku, rasa dingin serta panas menghantarkan pulang kerumah, tuk meninggalkan hallku. Sedih memang, pahit itu iya. Namun biarkan sedihku menyembuhkan lukamu karenaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar